News

Menilai Karakter Bukan Masalah Bermain dengan Angka

October 11, 2014

Sabtu, 11 Oktober 2014, Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI) mengadakan seminar bertajuk “Pendidikan Berkarakter, Berbasis Nilai-Nilai Buddhis” di Auditorium Internasional, Aula Jing Si, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

 

14 Oktober 2014 - Mendidik siswa dengan budi pekerti dan membuat mereka mempunyai karakter yang baik bukanlah perkara yang mudah. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. I Gede Raka, salah satu praktisi pendidikan, dalam seminar bertajuk “Pendidikan Berkarakter, Berbasis Nilai-Nilai Buddhis” yang diadakan oleh Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI) di Auditorium Internasional, Aula Jing Si, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Sabtu 11 Oktober 2014.

Prof. Raka menuturkan bahwa membentuk karakter baik bukan seperti membina kecerdasan akademis yang bisa dinilai dengan angka. “Bukan waktunya kita bermain angka nol sampai sepuluh. Ini berkaitan dengan apa yang ingin kita bentuk. Mau menjadikan mereka produk yang seragam keluaran dari pabrik atau bibit-bibit bunga yang beraneka warna,” ujarnya. Dalam perkembangannya, Prof. Raka menilai memang telah banyak para pendidik yang telah mengubah konsep mendidik siswa dengan basis pendidikan karakter namun dalam aksinya mereka masih salah kaprah karena masih menggunakan cara-cara yang diterapkan dalam pendidikan kompetensi. “Kesulitan terbesar dalam perubahan bukanlah dalam mempelajari sesuatu yang baru melainkan meninggalkan cara yang lama,” ucapnya.

Prof. Dr. I Gede Raka (kanan) dan Sudhamek AWS (tengah), mengisi sesi pertama seminar pendidikan karakter.

Ia juga menambahkan bahwa pendidikan bukanlah seleksi, namun cara kita membantu orang lain untuk berkembang. Ia juga berharap bahwa para pendidik dalam hal ini guru, mampu menjadi teladan bagi para siswa dan tidak lagi menjadi hakim bagi anak didiknya. “Sudah seharusnya kita menjadi guru, bukan malah menjadi hakim,” ucapnya.

Senada dengan hal tersebut, Sudhamek AWS, mantan Ketua Umum Majelis Buddhayana Indonesia yang juga Board of Governors Global Sevilla School, menambahkan bahwa membina karakter sama halnya dengan membangun budaya dan membangun manusia yang tentunya berurusan langsung dengan manusia. Baginya siswa bukanlah target atau sasaran namun partisipan atau orang yang ikut berperan serta.


Berpedoman Pada Pancasila Buddhis

Pada sesi 2 seminar, Bhikkhu Jayamedho, salah satu pengisi materi, menjelaskan mengenai nilai-nilai universal Buddhis yang merupakan dasar pembentukan karakter generasi Buddhis. Nilai ini tercakup dalam Pancasila Buddhis yang terdiri dari lima sila, diantaranya: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, dan tidak meminum minuman keras atau yang menyebabkan lemahnya kesadaran. Dari sila pertama, pimpinan STAB Kertarajasa Batu, Malang ini menjelaskan bahwa tidak membunuh bukan hanya berarti sempit untuk tidak melakukan pembunuhan saja, melainkan juga harus mengembangkan toleransi dan tanpa kekerasan baik dengan ucapan, perbuatan, maupun pikiran.

Idris Gautama (kiri), Bhiksuni Zong Kai, Bhikkhu Jayamedho (kanan) turut mengisi seminar. Sejumlah pembicara dengan latar belakang yang berbeda diajak untuk sama-sama berdiskusi mengenai karakter Buddhis apa yang bisa menjadi pedoman dalam pendidikan.

Dalam sila kedua, tidak mencuri, beliau menuturkan bahwa tidak mencuri bisa juga dikembangkan artinya dengan mau berderma, berdana dan memperhatikan orang lain. “Sikap altruism (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri) bisa dikembangkan di sini, jangan individualistik atau mementingkan diri sendiri,” tuturnya. Menyambung pada sila ketiga, beliau menekankan akan pentingnya hubungan antarsesama seperti memberikan perhatian, penghormatan, kasih sayang, ataupun bantuan. “Setelah ini baru disambung dengan kejujuran. Bagaiamana orang punya komitmen, konsistensi, tanggung jawab, disiplin, dan integritas,” sambungnya menjelaskan sila keempat Pancasila Buddhis. Di sila terakhir, beliau menitikberatkan pada mindfulness atau hidup dengan berkesadaran.

Bukan hanya Bhikkhu Jayamedho, bagi pembicara lain kelima sila dalam Pancasila Buddhis ini dirasa tepat untuk menjabarkan karakter atau ciri-ciri seorang anak didik atau guru didik yang mencerminkan nilai-nilai Buddhis. “Kelima sila ini bersifat universal dan bisa dipraktikkan oleh siapa saja tanpa embel-embel  agama,” tegasnya.


Kepedulian Terhadap Generasi Buddhis

Dibagi dalam tiga sesi pemaparan materi, seminar yang dihadiri oleh 330 peserta ini disambut antusias oleh para peserta yang hadir. Dengan diisi oleh delapan pembicara yang datang dengan berbagai latar belakang, antara lain: Bhikkhu Jayamedho (anggota Sangha Theravada Indonesia yang juga pimpinan STAB Kertarajasa Batu, Malang), Bhiksuni Zong Kai (pendiri Sekolah Dharma Suci, Jakarta), Samanera Santacitto (alumni Universitas Kelaniya, Sri Lanka), Sudhamek AWS, Prof. Dr. I Gede Raka, Idris Gautama So, Ph.D. (Dekan School of Management and Business Universitas Bina Nusantara), Dr. Krishnanda W. Mukti M.Sc. (Ketua Yayasan Sekolah Tri Ratna, Jakarta), dan Iing Felicia Joe (Kepala Sekolah TK Tzu Chi School, Jakarta).

Dibagi dalam tiga sesi pemaparan materi, seminar yang dihadiri oleh 330 peserta ini disambut antusias oleh para peserta yang hadir.

Seminar yang dilatarbelakangi oleh kepedulian para pendidik Buddhis akan pentingnya karakter berdasarkan nilai Buddhis ini dirasa penting bagi BKPBI. Melalui seminar ini, Hong Tjhin, Ketua BKPBI ingin menyatukan pemikiran-pemikiran dan saling berbagi ilmu untuk bersumbangsih bagi dunia pendidikan Buddhis. Ia pun berharap para pendidik yang hadir mampu mendapatkan manfaat sekaligus menerapkan dalam kegiatan belajar mengajar. “Kalau bisa melakukan dan mempraktikkan benang merah bersama ini adalah suatu yang baik sekali,” ujarnya.

Salah satu peserta yang mempunyai harapan besar untuk mendapatkan ilmu mengenai karakter adalah Rukuniah Tanurahman (80). Koordinator Pendidikan di Yayasan Dharma Ratna ini menyempatkan waktu untuk datang dan langsung mendengarkan pemaparan materi dari para narasumber. “Jalan dari rumah jam empat subuh, takut macet,” ujarnya. Bersama empat guru lainnya, ia datang dari Sukabumi, Jawa Barat. Jarak yang jauh antara Sukabumi dan Jakarta tidak mengurungkan niatnya untuk memperoleh ilmu yang dirasa banyak manfaatnya. “Banyak sekali ilmu baru yang kita dapatkan, saya rasa ini sangat bermanfaat buat kami dan guru lainnya,” ujarnya. Baginya pendidikan karakter sangatlah penting untuk generasi muda karena karakter merupakan fondasi dasar pembentukan sikap seseorang.

Rukuniah Tanurahman (kanan), Koordinator Pendidikan di Yayasan Dharma Ratna, Sukabumi ini menyempatkan waktu untuk datang dan langsung mendengarkan pemaparan materi dari para narasumber.

Menilai Karakter Bukan Masalah Bermain dengan Angka

14 Oktober 2014

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari

 

http://www.tzuchi.or.id/inliners/201410/1_DSC_1112_mt.JPG

Sabtu, 11 Oktober 2014, Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI) mengadakan seminar bertajuk “Pendidikan Berkarakter, Berbasis Nilai-Nilai Buddhis” di Auditorium Internasional, Aula Jing Si, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Mendidik siswa dengan budi pekerti dan membuat mereka mempunyai karakter yang baik bukanlah perkara yang mudah. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. I Gede Raka, salah satu praktisi pendidikan, dalam seminar bertajuk “Pendidikan Berkarakter, Berbasis Nilai-Nilai Buddhis” yang diadakan oleh Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI) di Auditorium Internasional, Aula Jing Si, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Sabtu 11 Oktober 2014.

Prof. Raka menuturkan bahwa membentuk karakter baik bukan seperti membina kecerdasan akademis yang bisa dinilai dengan angka. “Bukan waktunya kita bermain angka nol sampai sepuluh. Ini berkaitan dengan apa yang ingin kita bentuk. Mau menjadikan mereka produk yang seragam keluaran dari pabrik atau bibit-bibit bunga yang beraneka warna,” ujarnya. Dalam perkembangannya, Prof. Raka menilai memang telah banyak para pendidik yang telah mengubah konsep mendidik siswa dengan basis pendidikan karakter namun dalam aksinya mereka masih salah kaprah karena masih menggunakan cara-cara yang diterapkan dalam pendidikan kompetensi. “Kesulitan terbesar dalam perubahan bukanlah dalam memelajari sesuatu yang baru melainkan meninggalkan cara yang lama,” ucapnya.

http://www.tzuchi.or.id/inliners/201410/2_DSC_1223_mt.JPG

Prof. Dr. I Gede Raka (kanan) dan Sudhamek AWS (tengah), mengisi sesi pertama seminar pendidikan karakter.

Ia juga menambahkan bahwa pendidikan bukanlah seleksi, namun cara kita membantu orang lain untuk berkembang. Ia juga berharap bahwa para pendidik dalam hal ini guru, mampu menjadi teladan bagi para siswa dan tidak lagi menjadi hakim bagi anak didiknya. “Sudah seharusnya kita menjadi guru, bukan malah menjadi hakim,” ucapnya.

Senada dengan hal tersebut, Sudhamek AWS, mantan Ketua Umum Majelis Buddhayana Indonesia yang juga Board of Governors Global Sevilla School, menambahkan bahwa membina karakter sama halnya dengan membangun budaya dan membangun manusia yang tentunya berurusan langsung dengan manusia. Baginya siswa bukanlah target atau sasaran namun partisipan atau orang yang ikut berperan serta.

Berpedoman Pada Pancasila Buddhis

Pada sesi 2 seminar, Bhikkhu Jayamedho, salah satu pengisi materi, menjelaskan mengenai nilai-nilai universal Buddhis yang merupakan dasar pembentukan karakter generasi Buddhis. Nilai ini tercakup dalam Pancasila Buddhis yang terdiri dari lima sila, diantaranya: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, dan tidak meminum minuman keras atau yang menyebabkan lemahnya kesadaran. Dari sila pertama, pimpinan STAB Kertarajasa Batu, Malang ini menjelaskan bahwa tidak membunuh bukan hanya berarti sempit untuk tidak melakukan pembunuhan saja, melainkan juga harus mengembangkan toleransi dan tanpa kekerasan baik dengan ucapan, perbuatan, maupun pikiran.

http://www.tzuchi.or.id/inliners/201410/3_DSC_1238_mt.JPG

Idris Gautama (kiri), Bhiksuni Zong Kai, Bhikkhu Jayamedho (kanan) turut mengisi seminar. Sejumlah pembicara dengan latar belakang yang berbeda diajak untuk sama-sama berdiskusi mengenai karakter Buddhis apa yang bisa menjadi pedoman dalam pendidikan.

Dalam sila kedua, tidak mencuri, beliau menuturkan bahwa tidak mencuri bisa juga dikembangkan artinya dengan mau berderma, berdana dan memperhatikan orang lain. “Sikap altruism (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri) bisa dikembangkan di sini, jangan individualistik atau mementingkan diri sendiri,” tuturnya. Menyambung pada sila ketiga, beliau menekankan akan pentingnya hubungan antarsesama seperti memberikan perhatian, penghormatan, kasih sayang, ataupun bantuan. “Setelah ini baru disambung dengan kejujuran. Bagaiamana orang punya komitmen, konsistensi, tanggung jawab, disiplin, dan integritas,” sambungnya menjelaskan sila keempat Pancasila Buddhis. Di sila terakhir, beliau menitikberatkan pada mindfulness atau hidup dengan berkesadaran.

Bukan hanya Bhikkhu Jayamedho, bagi pembicara lain kelima sila dalam Pancasila Buddhis ini dirasa tepat untuk menjabarkan karakter atau ciri-ciri seorang anak didik atau guru didik yang mencerminkan nilai-nilai Buddhis. “Kelima sila ini bersifat universal dan bisa dipraktikkan oleh siapa saja tanpa embel-embel agama,” tegasnya.

Kepedulian Terhadap Generasi Buddhis

Dibagi dalam tiga sesi pemaparan materi, seminar yang dihadiri oleh 330 peserta ini disambut antusias oleh para peserta yang hadir. Dengan diisi oleh delapan pembicara yang datang dengan berbagai latar belakang, antara lain: Bhikkhu Jayamedho (anggota Sangha Theravada Indonesia yang juga pimpinan STAB Kertarajasa Batu, Malang), Bhiksuni Zong Kai (pendiri Sekolah Dharma Suci, Jakarta), Samanera Santacitto (alumni Universitas Kelaniya, Sri Lanka), Sudhamek AWS, Prof. Dr. I Gede Raka, Idris Gautama So, Ph.D. (Dekan School of Management and Business Universitas Bina Nusantara), Dr. Krishnanda W. Mukti M.Sc. (Ketua Yayasan Sekolah Tri Ratna, Jakarta), dan Iing Felicia Joe (Kepala Sekolah TK Tzu Chi School, Jakarta).

http://www.tzuchi.or.id/inliners/201410/4_DSC_1167_mt.JPG

Dibagi dalam tiga sesi pemaparan materi, seminar yang dihadiri oleh 330 peserta ini disambut antusias oleh para peserta yang hadir.

Seminar yang dilatarbelakangi oleh kepedulian para pendidik Buddhis akan pentingnya karakter berdasarkan nilai Buddhis ini dirasa penting bagi BKPBI. Melalui seminar ini, Hong Tjhin, Ketua BKPBI ingin menyatukan pemikiran-pemikiran dan saling berbagi ilmu untuk bersumbangsih bagi dunia pendidikan Buddhis. Ia pun berharap para pendidik yang hadir mampu mendapatkan manfaat sekaligus menerapkan dalam kegiatan belajar mengajar. “Kalau bisa melakukan dan mempraktikkan benang merah bersama ini adalah suatu yang baik sekali,” ujarnya.

Salah satu peserta yang mempunyai harapan besar untuk mendapatkan ilmu mengenai karakter adalah Rukuniah Tanurahman (80). Koordinator Pendidikan di Yayasan Dharma Ratna ini menyempatkan waktu untuk datang dan langsung mendengarkan pemaparan materi dari para narasumber. “Jalan dari rumah jam empat subuh, takut macet,” ujarnya. Bersama empat guru lainnya, ia datang dari Sukabumi, Jawa Barat. Jarak yang jauh antara Sukabumi dan Jakarta tidak mengurungkan niatnya untuk memperoleh ilmu yang dirasa banyak manfaatnya. “Banyak sekali ilmu baru yang kita dapatkan, saya rasa ini sangat bermanfaat buat kami dan guru lainnya,” ujarnya. Baginya pendidikan karakter sangatlah penting untuk generasi muda karena karakter merupakan fondasi dasar pembentukan sikap seseorang.

http://www.tzuchi.or.id/inliners/201410/5_DSC_1341_mt.JPG

Rukuniah Tanurahman (kanan), Koordinator Pendidikan di Yayasan Dharma Ratna, Sukabumi ini menyempatkan waktu untuk datang dan langsung mendengarkan pemaparan materi dari para narasumber.

 

Sumber: www.tzuchi.or.id